SUKU KURDI DALAM SEJARAH



Para pejuang Kurdi kini berada di garis depan dalam perang melawan militan ISIS di Irak dan Suriah. Mereka merupakan kelompok etnis terbesar keempat di Timur Tengah. Tapi sebagai bangsa, mereka tidak pernah memiliki negara.

Bangsa Kurdi dalam sejarah hidup di Mesopotamia dan dataran tinggi di wilayah yang kini menjadi negara Turki, Suriah, Irak, Iran dan Armenia. Saat ini mereka mulai membentuk persatuan melalui kesamaan ras, budaya dan bahasa.

"Mereka beragama Islam Sunni," kata Duta Besar Indonesia untuk Irak Safzen Noerdin pada VIVAnews, pekan lalu. Sejak awal abad ke-20 sebagian besar masyarakat Kurdi mulai mempertimbangkan untuk mendirikan negara sendiri dengan nama Kurdistan.

Pada laporan BBC tentang Kurdi, Senin 20 Oktober 2014, disebut pecahnya wilayah luas yang menjadi tempat tinggal bangsa Kurdi terjadi setelah Perang Dunia I dan runtuhnya Kekaisaran Ottoman. Kemenangan sekutu Barat atas Jerman berakibat pada dipecahnya wilayah kekuasaan Ottoman yang ketika itu memilih bersekutu dengan Jerman.

Presiden Amerika Serikat (AS) Woodrow Wilson pernah menjanjikan pengakuan bagi negara Kurdi saat dibuatnya Perjanjian Sevres pada 1920. Namun harapan kandas tiga tahun kemudian, setelah dibentuknya negara baru Turki di bawah Kemal Atta Turk.

Pada Perjanjian Lausanne ditetapkan batas-batas negara baru Turki yang meliputi sebagian wilayah Kurdi, menjadikan bangsa Kurdi kembali menjadi masyarakat minoritas yang terjajah. Nasib Kurdi semakin tidak jelas setelah dibentuknya negara Irak pada 1932, yang juga mencakup sebagian wilayah Kurdi.
 
Perlawanan

Frustasi dengan pupusnya harapan memperoleh kemerdekaan, muncul kelompok-kelompok militan Kurdi. Tapi perjuangan mereka menuntut hak untuk merdeka dituduh sebagai aksi terorisme. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berada di bawah pengaruh AS dan sekutunya juga memasukkan pejuang Kurdi dalam daftar hitam teroris.

"Mereka (Kurdi) dikhawatirkan menjadi kekuatan baru yang sulit dikendalikan jika bersatu," kata Safzen. Hampir semua negara di Timur Tengah, terutama Israel menentang kemerdekaan Kurdi. Menurut Safzen, sebetulnya Kurdi memiliki semua persyaratan untuk menjadi sebuah negara.

Khususnya di Irak, di mana masyarakat Kurdi yang berjumlah 20 persen dari total penduduk telah memiliki pemerintahan, tentara dan polisi. Setelah revolusi pada 1958, konstitusi baru Irak mengakui identitas Kurdi.

Tapi pemimpin Partai Demokratik Kurdi (KDP) Mulla Mustafa Barzani menuntut otonomi wilayah yang ditolak pemerintah Irak, sehingga KDP melakukan pemberontakan pada 1961. Pemerintah Irak menawarkan kesepakatan pada 1970 untuk memberikan wilayah otonomi.

Namun kesepakatan itu dilanggar empat tahun kemudian, membuat KDP kembali melakukan perlawanan pada 1974. Pada akhir 1970-an, pemerintah Irak mulai membangun permukiman Arab di kawasan mayoritas Kurdi, terutama di sekitar kota Kirkuk yang kaya minyak.

Mengakibatkan direlokasinya masyarakat Kurdi. Kebijakan untuk menggerus wilayah Kurdi semakin intensif pada 1980an selama Perang Irak-Iran, membuat masyarakat Kurdi memilih untuk memihak Iran. Pada 1988 Saddam Hussein melakukan serangan gas beracun di Halabja dalam usaha genosida terhadap Kurdi.

Saat Irak kalah dalam Perang Teluk 1991, tercatat ada lebih dari 1,5 juta Kurdi dari Irak yang mengungsi ke Iran. Pada 2003, pasukan AS yang melakukan invasi ke Irak untuk menggulingkan Saddam Hussein mendapat bantuan dari kelompok militan Kurdi.

Kini masyarakat Kurdi diberikan akses untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan koalisi Irak. Pada 2005, Kurdi juga memperoleh wilayah otonomi di tiga provinsi yaitu Dohuk, Irbil, dan Sulaimaniya.
Tidak diakui



Sementara di Turki, masyarakat Kurdi mendapat perlakuan keras selama puluhan tahun. Otoritas Turki yang menolak mengakui identitas etnis Kurdi, melarang budaya dan bahasa Kurdi. Akhirnya masyarakat Kurdi di Turki mulai berusaha bangkit.

Abdullah Ocalan mendirikan Partai Pekerja Kurdi (PKK) pada 1978, yang menginginkan pembentukan negara independen. Enam tahun kemudian mereka memulai perlawanan bersenjata yang dihadapi dengan brutal oleh militer Turki.

Lebih dari 40.000 warga Kurdi dibunuh dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Pada 1990 PKK mengganti tuntutan untuk merdeka, menjadi otonomi budaya dan politik. Penolakan dari otoritas Turki membuat PKK melanjutkan perlawanan bersenjata.

Pada 2012, pemerintah Turki dan PKK mulai menggelar pembicaraan damai dan menyepakati gencatan senjata. Tapi kemudian para pejuang PKK diminta untuk mundur ke utara Irak sehingga menyebabkan terjadinya lagi pertikaian.

Di Suriah, masyarakat Kurdi berjumlah antara 7-10 persen dari total populasi. Lebih dari 300.000 warga Kurdi ditolak mendapatkan kewarganegaraan sejak 1960, menggambarkan bagaimana tekanan bagi warga Kurdi di Suriah.

Bahkan tanah-tanah yang didiami masyarakat Kurdi disita dan dibagikan pada masyarakat Arab Suriah, dalam upaya menghapus keberadaan wilayah Kurdi. Saat Barat dan negara-negara Arab memotori gerakan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan Suriah tiga tahun lalu, Kurdi memilih tidak terlibat.

Pada pertengahan 2012, pasukan pemerintah Suriah mundur dari wilayah Kurdi yang kemudian dimanfaatkan oleh Partai Persatuan Demokratik Kurdi (PYD) untuk segera membangun kekuatan.

Mereka bersatu dengan Dewan Nasional Kurdistan (KNC) untuk mendeklarasikan pembentukan pemerintah regional Kurdi, pada Januari 2014. Namun mereka menegaskan tidak mencari kemerdekaan, tapi hanya pemerintahan daerah yang demokratis.
#VIVAnews